Rabu, 16 November 2011

Dokter Indonesia Harus Punya Pengetahuan Jamu


img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Selama ini, pengobatan formal yang diterima di kedokteran Indonesia adalah pengobatan barat. Masih banyak dokter yang canggung atau menolak menggunakan pengobatan tradisional seperti jamu, yang asli Indonesia. Untuk itu, nantinya semua dokter Indonesia harus punya pengetahuan tentang jamu.

UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dalam pasal 48 menyatakan bahwa pemerintah wajib menyediakan pelayanan paripurna yang meliputi 17 pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan tradisional. Untuk itu, pengetahuan dan keilmuan tentang pelayanan kesehatan tradisional termasuk jamu harus ada pada dunia pendidikan kedokteran dan diajarkan pada calon-calon dokter Indonesia.

"Wakil Menteri Kesehatan yang juga Ketua Umum Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), beliau membaca karena ini amanat UU 36 tahun 2009 tentang kesehatan, maka otomatis pengetahuan dan keilmuan ini harus mengalir ke dalam dunia pendidikan supaya bisa masuk ke pelayanan kesehatan. Karena itu setiap dokter ketika sudah praktik harus punya pilihan, apakah harus ngasih obat atau herbal," jelas dr Abidinsyah Siregar DHSM, MKes, Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer Kementerian Kesehatan, disela-sela acara seminar jamu 'Indonesia Cinta Sehat, Saatnya Jamu Berkontribusi' di Gedung Kemenkes, Jakarta, Rabu (16/11/2011).

Menurut dr Abidin, semakin mahalnya obat-obat konvensional membuat dokter-dokter Indonesia harus bisa memiliki pengetahuan tambahan dan menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan kedokteran modern dan tradisional.

"Kan tidak semua sakit butuh obat, karena obat mahal dan makin mahal, karena import-nya kan sekarang sudah sampai di atas 32 persen, otomatis tidak choice itu. Karena itu, dokter Indonesia harus memiliki pengetahuan yang lebih berkembang, seimbang antara pengetahuan barat dan pengetahuan timur, antara modern dan tradisional," lanjut dr Abidin.

Hingga saat ini, ada beberapa fakultas kedokteran yang sudah menaikkan jumlah SKS untuk ilmu pengetahuan tradisional di dalam pendidikan kedokterannya, seperti FK UNAIR Surabaya, UNDIP Semarang, UGM Yogyakarta, UI Depok, Unhas Makassar, USU Medan.

"Sudah ada yang beinisiatif walaupun baru sampai 2 SKS, tapi itu sudah membuat si dokter ngerti. Jangan sampai ada kesan 'ah nggak ngerti'. Hanya tinggal menambah keahlian tambahan saja," jelas dr Abidin.

Jika dibandingkan dengan negara lain, menurut dr Abidin ada 2 grup ilmu kedokteran. Ada 1 grup yang mendirikan fakultas kedokteran tradisional diluar kedokteran modern, seperti terdapat di China, Korea, Australia, Jerman dan Amerika. Juga ada yang menambahkan pengetahuan tradisional di dalam fakultas kedokteran modern, sehingga dokter keluarannya memiliki 2 ilmu sekaligus. 

"Kita baru mulai. Undang-undangnya baru dilaunching tahun 2009, baru dinyatakan formal masuk ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Kalau ada jamu yang dijual tentu harus ada pabrik, kalau ada pabrik berarti ada yang mengerjakan, berarti harus ada sekolahnya, maka baru sekarang dimulai.

Nantinya, semua fakultas kedokteran di Indonesia akan diwajibkan memiliki kurikulum tentang pengetahun pengobatan tradisional, termasuk jamu atau herbal.

"Karena itu kita sangat berharap bapak Wakil Menteri Kesehatan yang juga selaku ketua AIPKI, diharapkan beliau mengundang para dekan-dekan se-Indonesia dan mulai mengajak memikirkan hal ini supaya dokter Indonesia tidak canggung lagi menggunakan kekayaan budaya sebagai bagian dari pelayanan kesehatan," tutup dr Abidin.



Merry Wahyuningsih - detikHealth


Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar